Bukan Etimologi Kapujiang...

Author: Admin /

Oleh: Jeff

Kapujiang, di telinga orang Luwu, kata yang satu ini mungkin terdengar akrab, sebab kata ini tergolong bahasa prokem yang terkadang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tentu saja, tulisan ini tidak membahas etimologi "Kapujiang" itu sendiri (lihatki judulnya...), sebab saya bukanlah seorang linguis dan bukan pula sejarawan, jadi...dengan berat hati saya ucapkan, ta'addempengengka'...(ato dalam bahasa Inggris, I am Sorry..., klo dalam bahasa Indonesia, Ayem Sori...hehehh).
Kata "Kapujiang" adalah sebutan bagi orang yang berekspesi dengan cara yang tak lazim untuk menarik perhatian orang. Jadi mohon maklum jika kata "Kapujiang" ini, juga berkonotasi negatif namun sensasional, meskipun bagi si pelaku "kapujiang" tersebut, itu sah-sah saja. Jadi pendeknya, ketika saya, atau, anda melihat orang-orang yang berperilaku aneh, mereka telah pantas mendapat gelar "La Kapujiang". Anda perlu contoh? Saya rasa tak perlu, sebab saya, anda atau kita, mungkin pernah melakukannya...hahahh, tapi kalo anda mau contoh, dibawah ini beberapa saran yang bisa anda praktekkan sendiri:

1. Jalanlah dengan kaki kiri terus menerus...
2. Pakailah sarung ketika anda ke kantor, jangan pake celana kantor...
3. Bagi yang berstatus suami, ciumlah ketiak istri anda, setiap bangun pagi...
4. Panjangkan bulu ketek anda, hingga mencapai 30 cm, dan pakailah slalu baju "U can See"...
5. Bagi yang berpacaran, kecuplah kening pacar anda, setiap kali dia beol...

So, saya kira segitu dulu cukup...sebab tindakan "Kapujiang" itu sendiri, kadang terjadi karena spontanitas dan sangat dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya. Pun juga, sebenarnya tulisan ini adalah salah bentuk "Kapujiangisme" yang secara tak sadar menjadi konsumsi otak saya. Dan ini sekadar analogi ber-Kapujiang yang saban hari menyatroni kita. Maka, pertanyaan saya, Kapujiang-kah anda? Hmmmm....

Ahh Palopo...

Author: Admin /

Oleh: Jeff

Banyak yang berubah di kota kecilku, wajahnya dan orang-orangnya.
Sudah banyak Cafe, banyak ABG, banyak Caleg, juga esek-esek terselubung...juga mulai banyak koruptor..hahahah
Mungkin ini konsekuensi sebuah Kota Metro, dipenuhi dengan beragam jenis kehidupan modern.
Aku sering bilang, Palopo mulai jadi Kota esek-esek uduk-uduk, artinya: banyak yang suka esek-esek sambil duduk-duduk...heheheh..., tapi teman saya marah, katanya: jangan ko bilang begitu...ndak bagus...! Betul juga tawwa...
Oh ya.., jaringan Wi-Fi pun mulai menjamur di Palopo, mulai yang gratisan sampe yang tidak gratisan...(dibayar bah, tapi murah ji...), makanya aku rajin-rajin update konten di blog ini gara-gara itu.
Ahh Palopo, kota kecilku yang cantik...
banyak harapan tumbuh di sini...
harapan untuk lebih baik...

Labombo dari Mataku...

Author: Admin /

Oleh: Jeff

Kawasan pantai itu diberi nama Labombo. Entah mengapa disebut “Labombo” sebab jika dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah “Si Setan”. Angker? Belum tentu. Justru tempat ini malah ramai ketika malam hari ketimbang siang hari. Sebab, tak jauh dari kawasan pantai ini, terdapat sejumlah Cafe dan THM yang beroperasi saat malam, yang menyediakan hiburan plus wajah-wajah permai pelayannya. Menurut orang, yang paling rame di Boulevard Cafe, katanya sering diramaikan oleh DJ-DJ (Disc Jokey Dari Jawa, heheh), dan D-DJ (Dancer Dari Jawa...), kecuali pengunjungnya, B-DJ (Bukan Dari Jawa...) hahahhh.
Selain itu (dan ini yang paling menarik...), tempat ini pula ramai dikunjungi oleh para pasangan mesum yang tak punya duit buat sewa kamar hotel, dan memanfaatkan kawasan pesisir pantai sebagai tempat untuk bernyanyi lagu Ahh...Ahh...Ouw!,....hehehhh. Trus terang, saya prihatin atas...Labombo, mungkin Labombo maunya jadi KIMA (Kawasan Industri Keramat), tapi nyatanya jadi KIMA (Kawasan Industri MaXi...at), hahahahah.
By the Way, moga Labombo tidak kaya Kuta Bali, sebab di sana, terkadang baju dan celana tak perlu lagi, sebab Kuta Bali cukuplah ada di Bali, tak perlu ke Palopo bermigrasi.

1000 Meter dikeremangan malam

Author: Admin /

Oleh : Amran Anas

Jalan yang menghubungkan daerah tepian laut dari sekira pusat Kota Palopo sebelah timur laut dengan poros utara, lebih akrab diucap sebagai jalan lingkar yang tak melingkar, rupanya mengurai kisah 'nan temaram', yang tak kalah sensual dengan dua tempat lainnya yang menjamu gelap di tanah tak bertuan, Pantai Labombo dan Dermaga pelabuhan laut yang Sea-beach itu.

Pemandangan nan indah diwaktu senja di ketiga tempat ini yang memberi nuansa wisata bagi masyarakat Kota Palopo seharusnya mendapat respon yang cukup dari pelaku pemerintahan, apatahlagi tempat ini bersentuhan langsung dengan area bisnis masyarakat semisal rumput laut dan pelabuhan barang serta transportasi antar daerah terdekat yang begitu prospektif. Namun cerita itu hanya berlaku sebelum sinar surya tenggelam berganti malam.

Ketika malam pun merebak, ingatan tentang bisnis masyarakat pagi sore menjadi sumir tak terdengar digantikan dengan 'serumpun' kisah-kisah malam di antara cahaya yang berbatas gelap, dari satu titik ke titik yang lainnya, Titik-titik itu adalah neon yang memiliki cahaya remang di jarak tertentu terpasang di kafe-kafe. Berbagai tingkah laku dipertontonkan secara samar oleh sepasang, dua pasang bahkan berpasang-pasang anak cucu adam diantara cahaya itu, prilaku itu menjadi pemandangan tersendiri yang tak merisaukan pemilik kafe. Diatas Mobil, di jok motor, bahkan di pinggiran tanggul, beralaskan sendal dan sepotong kertas kardus mereka menikmati 'cumbu' bagai tak kenal Pol PP dan petugas trantib lainnya. 'Asyik' adalah seruan yang acapkali menjadi komentar terhadap prilaku tersebut, tak ubahnya gaya di film-film Holllywood yang menyajikan gaya hidup bebas sebebas-bebasnya-Hollywood style, yang dalam ungkapan banyak kyai sebagai 'peradaban tanpa peradaban'.

Sepanjang seribu meter jarak antara ujung selatan dengan ujung utara jalur pintas tanpa rambu ini, lalu lalang kendaraan tak henti-hentinya bersalin namun tak membuat geming para fantastius hedonis itu mempraktekkan glamour aksinya, wauh amburadul.

Selepas menjamu tamu dengan menu tripel haus ; jus alvocado, jus jeruk, satu lagi lupa namanya dan beberapa mamin hangat, teh hangat, kopi hangat , mie kuah hangat dan kursi hangat bekas pantat tempat duduk tetamu yang baru saja beranjak, si Rina mendadak kaget (maaf: bukan mendadak dandut) ketika yang berdiri di hadapannya adalah orang yang sama sekali tak dinyana kalau malam itu bisa menjambangi stand kafe miliknya. “Hee, kak yudiiiii, dari manaki, bisanya kita datang di tempatku – siapa yang kasi liatki ini”, katanya penuh heran, “ndak ada yang kasi liat, kebetulan saja mau kesini, iseng-iseng yah ketemulah tempatmu ini!’ jawab yudi dengan dialeg yang sama, ala gaul anak selebriti, eh maksudnya anak selebes. Yudi bertiga dengan Ai panggilan akrab Suaeb serta sijangkung Ayya’, mereka langsung menempati kursi- kursi tetamu yang kosong yang ditinggal beberapa menit yang lalu, “Kita kesini mau ‘ngejus’ sambil liat-liat pemandangan di sekitar, siapa tahu ada yang asyik” basah basih memang basih Yudi penuh lidik. “Oke deh kak, santai aja, kalau pemandangan di sini pastilah Asyik, tapi pesanmiki dulu, ini menunya!” sambil menyodorkan menu, Rina merapikan tempat duduk yang berserakan di hadapan kafe itu.
“Kak kalau malam minggu seperti ini, banyak pemandangan asyik di sekitar sini,itu tuh di seberang jalan batas gelap, apa ndak asyik itu”, goda Rina sambil menyambar daftar menu pesanan tiga sekawan ‘ijolumut’(ikatan jomblo lugu nan imut2).

Kalau menyangkut urusan tanya menanya, Yudi ini jagonya, sementara yang lain Ai dan Ayya’ beraninya hanya menyelah pembicaraan, sesekali Ai berseru ‘Wauh...asyik” terdengar tertahan, menyaksikan adegan erotis yang mirip di layar monitor yang dibuat jadi blur. Karena mata belalak sedari tadi memilih-milih mana tontonan yang asyik, si Ayya’ malah sudah memasang lengan menopang dagu, bagai tongkat monopote menyangga kamera yang on cam, memelototi pemandangan nan indah itu.

“Rina, ini tempat kamu banyak yang tahu yah?”, Tanya Yudi mengawali perbincangan ala invetigasi reporting. “ Iya dong..., Riina, siapa yang ndak kenal” jawab Rina sok selebret yang narsis habis. “Yang jelas sepanjang 1 kilo meter ujung pukul ujung kita saling kenal mengenal sesama pemilik kafe di sini, jadi siapa pun yang datang di sini, kita saling memberi informasi”,jelas Rina panjang lebar. “Truz yang kayak gitu yang di tepian gelap, kamu juga kenal yah?” Tanya Yudi lagi, sambil menoleh kearah sepasang merpati yang sedang bercumbu rayu, istilah pelanggan gelap yang sedang berangkulan diseberang jalan. “Iya sih, tapi mereka mau jungkir balik ala pesumo jepang ndak urus, sudah biasa mereka di situ”, pungkas Rina asal ngoceh cuek bebek.

Di sekitar tempat Rina sudah beberapa pasang merpati memanfaatkan malam, tak peduli orang-orang yang ngobrol, bahkan sudah ada yang (maaf) melepas celana sekaligus jadi alas dipinggiran tanggul. Mereka hanya butuh pengertian orang disekitar untuk tidak mengubris mereka. Jalanan malam itu begitu ramai, lalu lalang kendaraan begitu padat, sepertinya tempat ini menjadi tujuan banyak orang untuk mendapatkan kesempatan yang sama, atau sekedar ingin tahu seperti apa pemandangan di 1000 meter jalur lingkar tak berambu itu. Ada pengemudi yang sengaja menyorot kearah pasangan yang sedang berangkul, dengan melambatkan kendaraannya sambil sesekali mematikan lampu sorotnnya, ada juga yang berhenti dan tak satupun penumpangnya yang turun dari mobil setelah mendapatkan posisi parkir yang memadai, entah apa yang mereka lakukan. Para penungu kafe menghampiri untuk mengajak menikmati sajian malam, sok akrab, menyapa dengan basah basih, “mampirki di sini pak, atau mauki nyantai di mobil, nanti saya bawa kesitu minumannya” bujuk pemilik kafe terdengar dari jauh. Dengan sekali ngangguk pelayan menyodorkan daftar menu yang disediakan.

Pemandangan malam itu begitu asyik, para penikmat malam menikmati desiran angin malam, lagu-lagu sajian pengantar dari kafe-kafe mengisi ruang dengar tetamu dan orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Yudi, Ai dan Ayya menikmati malam hingga larut, Risna dan pemilik kafe lainnya sibuk menjamu tetamunya.

(bersambung...)